KONSEP RIBA DALAM ISLAM
BAB I
KONSEP RIBA
1.
Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna; ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh
dan membesar.[1]
Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil[2].
Kata riba juga berarti ; bertumbuh menambah atau berlebih. Al-riba atau ar-rima
makna asalnya ialah tambah tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam
konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang
tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah
banyak seperti yang disyaratkan dalam Al-Qur’an. Riba sering diterjemahkan
orang dalam bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of
lending money at an exorbitant or illegal rate of interest” sementara para ulama’ fikih mendefinisikan
riba dengan “ kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan
atau gantinya”. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang
yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada
pemilik uang pada saat utang jatuh tempo[3].
Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli, maupun pinjam
meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip mua’amalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ : 29 ..............................
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman janganah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil.
Dalam kaitanya dengan pengertian
al-batil dalam ayat tersebut, ibnu ArobiAl-Maliki menjelaskan seperti yang
dikutif oleh Afzalurrohman.[4]
.........
“ pengertian riba’ secara bahasa
adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap
penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang
yang dibenarkan syari’ah.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut
secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa
yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena
penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya
pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli
membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya.
Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian
berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut
serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bunga tanpa adanya suatu penyeimbangan yang
diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama
proses peminjaman tersebut. Namun, yang tidak adil disini adal peminjam
diwajibkan untuk selalu dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan
tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya
dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor
orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut
mengusahakan bisa saja untung bisa saja rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama’ sepanjang sejarah
Islam dari berbagai madzahib fiqhiyyah, diantaranya sebagai berikut.
a.
Badr Ad-Din Al-Ayni pengarang
Umdatul Qari’ syarah Shahih Al-Bhukhari.
..........................
Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari’ah riba
berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis rill.[5]
b.
Imam zarkasi dari madzab Hanafi
.............
Riba adalah tambahan yang disaratkan dalam transaksi bisnis tanpa
adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut.
c.
Raghib Al-Asfahani
.................................
Riba adalah penambahan atas harta pokok.
d.
Imam An-Nawawi dari Madzab Syafi’i[6].
...................................
Berdasarkan penjelasan Imam Nawawi diatas, dapat dipahami bahwa
salah satu bentuk riba yang dilarang oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah
................................penambahan atas harta pokok karena unsur waktu.
Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama
waktu pinjaman.
e.
Qatadah
.....................................
Riba Jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo
hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat membayar dan si pembeli tidak
mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.
f.
Zaid Bin Aslam
...................................
Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang beramplikasi
pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas
mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata “bayar sekarang atau tambah”.
g.
Mujahid
.........................................
Mereka menjual daganganya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo
dan (tidak mampu membayar) si pembeli memberikan “tambahan” atas tambahan
waktu.
h.
Ja’far As-Shodiq dari kalangan
Madzab Syi’ah
............................................
Ja’far As-Shodiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT
mengharamkan riba supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan karena ketika
diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman maka seseorang tadi tidak
berbuat ma’ruf lagi atas transaksi
pinjam meminjam dan seterusnya. Padahal Qord bertujuan untuk menjalin hubungan
yang erat dan kebajikan antar manusia.
i.
Imam Ahmad Bin Hambal. Pendiri
Madzab Hambali
.......................................
Imam Ahnad Bin Hambal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab
sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya
apakah akan melunasi atauy membayar
lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga
pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan.
2.
Jenis-Jenis
Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.
Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok yang
pertama terbagi lagi menjadi riba jahiliyah dan qardh. Sedangkan kelompok kedua
riba jual beli terbagi menjadi riba Afdhl dan riba nasi’ah. Adapun penjelasannya
sebagai berikut[7]:
a.
Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disaratkan
terhadap yang berhutang (Muqtaridh).
b.
Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditentukan.
c.
Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang ribawi.
d.
Riba nasi’ah
e.
Penangguhan, penyerahan atau
penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi
lainya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau
tambahan antar yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Dalam kitab Fathul Mu’in riba dibagi menjadi tiga yaitu[8] :
1.
Riba Fadhl
Yaitu selisih barang pada salah satu tukar menukar dua barang yang
sama jenisnya. Termasuk dalam macam ini adalah riba qordh yaitu jika dalam
utang kembali kepada pihak pemberi utang.
2.
Riba yad
Yaitu jika salah satu dari penjuual dan pembeli berpisah dari akad
sebelum serah terima.
3.
Riba Nasa’
Yaitu jika mensaratkan ada penundaan penyerahan dua barang ma’qud
alaih dalam penukaranya (jual-beli).
3. Hukum Riba
Hukum riba dalam Islam telah ditetapkan dengan jelas, yakni
dilarang dan termasuk dariu salah satu perbuatan yang diharamkan. Namun proses
pelaranga riba dalam Al-Qur’an tidak diturunkan oleh Allah SWT sekaligus,
melainkan diturunkan dalam empat tahap[9].
1.
Allah memberikan pengertian bahwa
riba tidak akan menambah kebaikan disisi Allah SWT. Allah berfirman :
.....................................Arrum
Ayat 39
2. Allah
SWT memberikan gambaran siksa bagi yahudi dengan salah satu karakternya suka
memakan riba.
(QS.
An-Nisa’ : 160-161)...........................
3. Allah
melarang memakan riba yang berlipat ganda
Ali Imran 130..............................
4. Allah
melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba.
Albaqoroh
278-279...............................
Untuk lebih
memperjelas keharaman riba, Rosululloh SAW juga menjelaskan dan beberapa hadits
diantaranya[10]:
..............................................
Artinya : dari
Jabir ia berkata Rosululloh SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau
bersabda mereka itu semuanya sama ( HR. Muslim)
......................................................hadis
Hakim
meiwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwasanya nabi Saw telah bersabda “riba itu
mepunyai 73 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang
berzina dengan ibunya”. (HR. Mutafaqun Alaihi)[11].
Bahkan dalam
suatu hadis dinyatakan bahwa dosa orang yang mengerjakan riba lebih besar
beberapa kali lipat daripada dosa orang yang berzina. Hal ini didasari oleh
logika bahwa zina biasanya terjadi akibat gejolak syahwat yang tidak tertahan
dan dilakukan tanpa pikir panjang, sementara praktek riba dilakukan dengan
pertimbangan yang matang, jelas dan telaten[12].
Hakikat
larangan tersebut tegas, mutlak, dan tidak mengendung perdebatan. Tidak ada
ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar pada pinjaman dan bukan
bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun kecil, pemberian jasa atau
kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan dari uang pokok.
Larangan bunga
ini tidaj hanya berlaku dalam agama Islam tetapi dalam agama non Islampun juga
dilarang. Seperti halnya orang-orang Yahudi yang dilarang mempraktekkan riba.
Pelarangan dimaksud banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam
perjanjian lama (oldtestament). Maupun undang-undang talmud. Dalam Agama
Kresten kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini dengan jelas.
Namun, sebagian kalangan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam
Lukas 6 : 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Disamping
itu, para pendeta Agama kresten pada awal abad I – XII M. Juga berpandangan
bahwa pengambilan bunga dilarang oleh ajaran agama.
Dalam kalangan
Yunani dan Romawi sejak abad 6 SM. Hingga 1 M. Telah terdapat beberapa jenis
bunga. Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli
filsafat. Dua orang ahli filsafat yunani terkemuka, plato (427-347 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM), menbgecam praktek bunga. Begitu juga dengan Cato
(234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang
romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga[13].
Dari sedikit
uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun bentuk riba maupun bunga
dilarang secara mutlak oleh smua Agama, terutama Agama-Agama samawi. Hal ini
dikarenakan dampak yang dikarenakan oleh adanya riba atau bunga tersebut
dipandang merugikan masyarakat.
BAB II
KONSEP BUNGA
1.
Pengertian
Bunga
Secara leksikal, bunga seabagai terjemahan dari kata interest.
Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest
is a charge for afinacial loan, usually a presentage of the amount loaned
(Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan
prosentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan interest yaitu
sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasikan untuk penggunaan modal. Jumlah
tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang
bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
Berbeda dengan bunga (Interest), dalam bahasa inggris riba
lebih dikenal sebagai “usury” yang artinya “ the act of lending money at an
exorbitant or illegal rate of interest” tapi bila disimpulkan dari sejarah
masyarakat barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury”
yang dikenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan
uang, umumnya dalam presentase, istilah “usury” muncul karena belum
mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga pengusahaharus menetapkan suatu
tingkat bunga yang dianggap wajar[14].
2.
Bunga Bang dan
Riba
Dalam persoalan sub pokok bahasan ini, akan lebih rinci apabila
dikembalikan kepada pandangan tentang adanya kesamaan antara praktek bunga
dengan riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan hadits. Kesamaan itu sulit
dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bungan pada perbankan lebih
banyak dirasakan mudharatnya dari pada manfaatnya. Kemudharatan sistem bunga
sehingga dikategorikan sebagai riba, antara lain adalah[15] :
1.
Mengakumulasikan dana untuk
keuntungan sendiri.
2.
Bunga adalah konsep biaya yang digeserkan
kepada penanggung berikutnya.
3.
Menyalurkan harta hanya kepada
mereka yang mampu.
4.
Penanggung terakhir adalah
masyarakat.
5.
Memandulkan kebijakan stabilitas
ekonomi dan investasi.
6.
Terjadi kesenjangan yang tidak akan ada habisnya.
Disamping itu, terlepas dari haram / tidaknya bunga bank, secara
jujur harus diakui bahwa terdapat beberapa kelemahan pada penerapan sistem
bunga dalam sistem bank konvensional, antara lain[16] :
1.
Salah satu penyebab krisis
berkepanjangan.
2.
Menganaktirikan usaha sektor riil.
3.
Menciptakan budaya malas.
4.
Memperlebar jurang sosial antara
simiskin dan sikaya.
Apabila ada suatu bank yang didirikan untuk membantu lalu lintas
perdagangan, memuadahkan kirim mengirim uang, memudahkan jual-beli antar
bangsa, membantu manusia pedagang dengan modal, maka semua itu dibolehkan Agama.
Yang tidak diperbolehkan hanyalah memungut atau memberikan rente pinjaman
(riba/ bunga). Baik yang dilakukan oleh bank/ perseorangan, yaitu memungut
rente pinjaman. Dan juga dilarang kalau dengan tujuan “ihtikar” (menumpuk
barang-barang makanan pada waktu mahal untuk dijual dalam waktu yang lebih
mahal lagi), maka semuanya menurut hukum agama adalah haram[17].
Dalam analisa terhadap praktek pembuangan dalam bank, tercatat
beberapa hal sebagai berikut[18] :
1.
Bunga adalah tamnbahan terhadap uang
yang disimpan pada lembaga keuangan atau uang yang dipinjam.
2.
Besarnyta bunga yang harus dibayar
ditetapkan dimuka tanpa memperdulikan apakah lembaga keuangan penerima simpanan
atau peminjam berhasil dalam usahanya/ tidak.
3.
Besarnya bunga yang harus dibayar
dicantumkan dalam angka presentase dalam setahun yang artinya apabila hutang
tidak dibayar atau simpanan tidak diambil dalam beberapa tahun bisa terjadi
berlipat ganda jumlahnya.
Dari ketiga hal tersebut diatas tampak jelas bahwa praktek
membungakan uang adalah upaya untuk memperoleh tambahan uang atas uang semula
dengan cara : (1). Pembayaran tambahan uang itu prakarsanya tidak datang dari
yang meminjam, (2). Dengan jumlah tambahan yang besarnya ditetapkan dimuka,
(3). Peminjam sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti apakah usahanya akan
berhasil atau tidak dan apaakah ia akan sanggup membayar tambahan dari
pinjamanya itu atau tidak; (4). Pembayaran tambahan uang itu dihitung dengan
presentase sehingga tidak tertutup kemungkinan suatu saat jumlah seluruh
kewajiban yang harus dibayar menjadi berlipat ganda.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bunga sama halnya dengan riba an-nasi’ah yang dalam Al-Qur’an dan
Hadits telah dijelaskan keharamanya. Namun, disisi lain banyak orang yang beranggapan
bahwa bunga dan riba itu berbeda, karena bunga dianggap sebagai balas jasa atas
pinjaman yang telah digunakan untuk kepentingan produksi. Berdasarkajn pendapat
yang kedua ini, maka lembaga bank dianggap sebagai jalan keluar dari riba.
Maksudnya, unsur yang mengharamkan riba telah dihapus melalui peraturan
perbankan yang mana suku bunganya telah ditetapkan oleh pemerintah yang
biasanya telah disepakati oleh wakil rakyat. Namun demikian, bukankah hal
tersebut hanyalah dalih untuk menghalalkan yang diharamkan Tuhan?.
Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Tahu tentang apa yang telah
terjadi dan apa yang akan terjadi. Begitu juga dengan perubahan zaman seperti
sekarang ini, tetapi Allah SWT tetap mengharamkan riba dengan jelas dalam
firman-Ny, itu berarti tidak ada dalih apapun yang dapat menghalalkan riba.
Alhasil, bagaimanapun dicfari dalihnya maka bunga itu terlarang menurut hukun
Islam, tidak diridhoi oleh Allah SWT dan RasullNya.
3. Fatwa-Fatwa Tentang Bunga Bank
a. Majlis
Tarjih Muhammadiyah[19]
Majlis Tarjih
Sidoarjo (1968) memutuskan :
1.
Riba hukumnya haram dengan nash
shorih Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.
Bank dengan sistem riba hukumnya
haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
3.
Bunga yang diberikan oleh bank-bank
milik negara kepada para nasabahnya yang selama ini berlaku, termasuk perkara
musyabihat.
4.
Menyarankan kepada PP Muhammadiyah
untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga
perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
b. Lajnah
Bahsul Masa’il Nahdhlatul Ulama’[20]
menurut lajnah,
hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat
ulama’ sehubungan dengan masalah ini.
1.
Haram sebab termasuk utang yang
dipungut rente.
2.
Halal, sebab tidak ada syarat pad
awaktu akad sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan
syarat.
3.
Syubhat (tidak tentu halal haramnya)
sebab para ahliu hukum berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan lajnah memutuskan bahwa (pilihan)
yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yaitu menyebut bunga bank
adalah haram.
c. Sidang
Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta
sidang OKI kedua yang berlangsung di korachi, pakistan, Desember 1970, telah
menyepakati dua hal utama, yaitu :
1.
Praktek bank dengan sistem bunga
adalah tidak sesuai dengan Syari’ah Islam.
2.
Perlu segera didirikan bank-bank
alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah.
Hasil kesepakatan inilah yang
melatarbelakangi didirikanya Bank pembangunan Islam / Islamic Development Bank (IDB).
d. Mufti Negara
Mesir
keputusan
kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan
konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingg 1989, Mufti
Negara Republik Arab Mesir memutuskan
bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
e. Konsul
Kajian Islam Dunia (;;;;;;;;;;;;;;;;)
Ulama’-ulama’
besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah
memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam konferensi II KKID yang
diselenggarakan di universitas Al-Azhar, Kairo, pada bulan Muharram 1385 H/ Mei
1965 M, ditetapkan bahwa tidak ada sedikitpun kerugian atas haramnya praktik
pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
f.
Majelis Ulama’ Indonesia.
Dalam lokakarya alim ulama’ di Usaura tahun 1991 bertekad bahwa MUI
harus segera mendirikan bank alternatif. Selanjutnya, keputusan fatwa MUI No. 1
tahun 2004 tentang bunga, bahwa praktek pembungaan uang pada saat ini telah
memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rosululloh Saw, yakni riba
nasi’ah. Dengan semikian, praktek pembungaan ini termasuk salah satu bentuk
riba, dan riba hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar
modal, penggadaian, koperasi, dan lembaga-lembaga lainya maupun dilakukan oleh
individu.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam konteks Islam, Riba merupakan
satu halnya yang sangat dilarang. Bahkan penerapanya berakibat fatal bagi
masyaraakat secara luas. Oleh sebab itu, tidak lagi menjadi perdebatan tentang
haramnya riba, baik dalam lingkup Islam maupun non Islam.
Sedangkan mengenai mpermasalahan
Bank konvensional dan bunganya terdapat banyak perbedaan pendapat. Baik mengenai
hukumnya mauoun tingkat nilai dari suku bunga itu sendiri. Namun, setelah
dianalisis lebih jauh, tidak dapat dihindari bahwa bunga bank banyak memiliki
kesamaan dengan riba. Bahkan pada penerapanya pada zaman ini, bunga bank telah
menemui kriteria riba nasi’ah sehingga telah jelas keharamanya. Meski ada
ulama’-ulama’ maupun tokoh-tokoh yang membolehkan adanya riba, namun itu hanya
dalam jumlah minoritas, sedangkan mayoritas ulama’ Internasional sepakat bahwa
bunga bank sama dengan riba dan hukumnya adalah haram secara mutlak.
[1] Zainuddin Ali,
Hukum perbankan Syari’ah, 2008, Jakarta : Sinar Grafika. Hal 88, lihat
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke praktek, 2001, Jakarta :
Gema Insani, Hal. 37. Lihat Abdullaoh Saeed, Islamic Banking And Interest :
A Study Of The Probihition Of Riba And Itis Kontemporary. (Laiden : E
Jibril 1996)
[2] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 88. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah.....hal. 37. Lihat syafi’i Antonio. Wacana ualama’ dan cendikiawan,
central bank of Indonesia and Tazkia institute, Jakarta 1999.
[3] Muhammad, Lembaga-lembaga
Keuangan Umat kontemporer, 2000, Jogjakarta : UII Press. Hal. 147
[4] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 88. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah.....hal.38
[5] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 89. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah.....hal. 38. Lihat Badr Ad-Din Al-Ayni, Umdatul Qari’ syarah Shahih
Al-Bhukhari (Constatinople : Mathbaah Al-Amira. 1310 H.) Vol.-V. Hal. 4.136
[6] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 90. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah.....hal. 39. Lihat majmu’ Syarah Al-Muhadzab, Vol. IX, Cairo
Zakaria Ali Yusuf tt. Hal. 442
[7] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 92. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah.....hal. 41
[8] Abdul Azis
Al-Malibari. Fath Al-Mu’in, Surabaya : Dar Al-Ilmi, sh. 68 , lihat
terjemah Fath Al-Mu’in (2). Surabaya : Alhidayah, hal. 211
[9] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 99-102. Lihat M. Syafi’i Antonio,
Bank Syariah.....hal. 48-51, lihat Sunarto Dzulkifli, Perbankan Syariah,
2007, Jakarta ; Zikrul Hakim, hal. 2-4
[10] Zainudin Ali, Hukum Perbankan
Syari’ah.................hal. 105. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah.....hal. 53
[11] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 106. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah.....hal. 54,
[12] Sunarto
Zulkifli,.............hal. 4
[13] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 94-96. Lihat M. Syafi’i Antonio,
Bank Syariah.....hal. 43-48
[14] Muhammad, Lembaga-lembaga........,
hal. 146-147
[15] Muhammad, lembaga-lembaga,
hal. 146-147
[16] Muhammad,
lembaga-lembaga, hal. 158-159
[17]Sunarto
zulkifli, Perbankan Syari’ah, hal. 8-9
[18] Muhammad, lembaga-lembaga,
hal. 154
[19] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 113-114. Lihat M. Syafi’i Antonio,
Bank Syariah.....hal.
[20] Zainudin Ali, Hukum
Perbankan Syari’ah.................hal. 115. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank
Syariah.....hal.